17 alasan mengapa aku tidak mau menyerahkan anak-anak kepada lembaga pendidikan bernama sekolah formal
Berikut 17 alasan mengapa aku tidak mau menyerahkan anak-anakku kepada lembaga pendidikan bernama sekolah formal:
1. Orang tua membayar guru untuk melakukan satu hal saja yaitu:
menolong anak-anak belajar. Tetapi jika anak-anak tidak belajar, guru
tidak mungkin mencoba cara-cara baru sampai ada satu cara yang berhasil
membuat mereka semua paham. Guru akan terus melanjutkan pelajaran untuk
mengejar target kurikulum dengan meninggalkan anak-anak yang tetap
tidak paham. Kegagalan sebenarnya ada pada sistem: satu orang dewasa
mengajar banyak anak, tetapi kesalahan dilimpahkan pada anak-anak.
Anak-anak ditempeli cap bodoh, pemalas, diberi ranking terendah, bahkan
belakangan ada cerita tentang guru yang berani memberi label ADHD kepada
anak-anak didiknya.
2. Kalau anak-anak menjadi pintar, sekolah yang berbangga diri dan
dipuja-puja. Kalau anak-anak nilainya buruk, yang salah anak itu sendiri
bahkan orang tuanya dinilai tidak becus membimbing anak belajar atau
menjatuhkan tuduhan tentang kondisi keluarga yang tidak harmonis. Anak
yang menyulitkan sekolah akan ditendang keluar. Sekolah tidak akan
pernah mau bertanggung jawab atau pun mengakui bahwa telah gagal
mendidik anak.
3. Anak-anak yang paling membutuhkan bimbingan malah dihukum dengan
nilai buruk, disetrap, ranking rendah, dan dihancurkan kepercayaan
dirinya. Tidak manusiawi.
4. Sekolah boleh-boleh saja menjalankan hukuman keras, kekerasan
fisik, atau pun tekanan mental kepada anak-anak didiknya atas
pelanggaran minor, dan anak-anak tidak diberi kesempatan diadili secara
proporsional. Orang tua lebih sering tidak diberi tahu sekolah soal
insiden yang melibatkan anaknya.
5. Guru boleh-boleh saja menurunkan nilai rata-rata ujian anak
ataupun memberikan nilai di bawah lima kepada anak-anak yang dianggapnya
tidak menurut atau sering membolos. Bahkan guru tidak malu-malu
mengancam murid-muridnya soal hal ini meskipun tindakan itu merupakan
pemalsuan data prestasi akademik, dan berarti guru-guru ini berdusta.
Guru seperti ini terutama guru untuk mata pelajaran PPKn, Bahasa
Indonesia, dan Agama yang menentukan kenaikan kelas atau kelulusan.
6. Atmosfer sekolah bersifat destruktif terhadap orientasi dan nilai-nilai agama Islam.
Jika sekolah menentukan seragam olahraga adalah celana pendek, tidak
ada yang bisa menentang. Jam pelajaran agama Islam, guru agama menyuruh
memakai kerudung. Tetapi saat pelajaran olahraga, siswi-siswi pakai
celana pendek dan pameran paha. Absurd.
Pacaran tidak ada dan dihindari dalam ajaran Islam, namun kebanyakan
siswa-siswi sekolah sudah mengenal cinta-cintaan dengan lawan jenis
sejak usia sangat dini.
Belum lagi peredaran obat terlarang, pornografi, dan rokok di sekolah.
Siswi-siswi wajib berenang kalau tidak mau nilai olahraganya dikurangi, tidak perduli meskipun mereka pakai jilbab.
Falsafah sekolah adalah: peraturan sekolah harus diutamakan,
peraturan Tuhan bisa diatur sesuai sikon, kehidupan beragama dipisahkan
dari kehidupan sekular. Mungkin ini sebabnya di negara yang beragama ini
banyak pejabat yang ibadahnya rajin, tetapi korupsi jalan terus.
7. Kecepatan pelajaran di kelas sering kali tidak sesuai dengan
kecepatan individu setiap anak. Anak-anak berbakat yang jauh lebih maju
dari teman-teman sekelasnya dipaksa mengerjakan tugas-tugas yang
ditetapkan guru. Anak yang sudah bisa membaca harus tetap mengeja
huruf. Anak yang sudah lancar menulis harus tetap menulis satu kalimat
yang sama 100 kali meskipun dia ingin mengarang cerita. Kalau si anak
menolak, dia dianggap membangkang guru. Sangat jarang anak-anak seperti
ini boleh lompat kelas. Akibatnya mereka jenuh, tugas sekolah menjadi
siksaan sekaligus penghinaan terhadap harga diri mereka.
Sementara anak-anak yang lambat seringkali ditinggal begitu saja.
Seorang guru dengan blak-blakan mengatakan,”Dengan jumlah murid yang
banyak, guru tidak pasang target semua murid harus bisa.” Horor.
8. Percobaan sains di laboratorium yang dilengkapi peralatan
ekstensif hanyalah pengulangan rutin dari pengetahuan pakem yang sudah
jamak diketahui. Hasil percobaan yang ’salah’ tidak dihargai. Anak-anak
sekolah dengan jas lab yang keren itu tidak akan pernah diizinkan
melakukan percobaan sains yang benar-benar eksperimental. Sayangnya
anak-anak itu sudah diperbodoh sedemikian rupa sehingga tidak
terpikirkan atau tidak berani protes.
9. Para siswa sekolah swasta dengan perpustakaan super lengkap
ternyata tidak mempunyai waktu untuk membaca buku-buku koleksi
perpustakaan. Terlalu banyak tugas sekolah, terlalu banyak ujian,
terlalu banyak buku teks yang harus dibaca, tidak sempat lagi untuk
membaca buku-buku lain. Jadi buat apa perpustakaan dengan rak-rak buku
menjulang itu? Cuma polesan pemanis agar orang tua murid bersedia
membayar SPP lebih mahal.
10. Sekolah membuat anak-anak berpikir bahwa hanya ada satu cara
melihat masalah, hanya ada satu jawaban terhadap pertanyaan, tidak
boleh mempertanyakan atau pun menggugat segala hal yang ditetapkan oleh
otoritas atau pakar atau kunci jawaban. Apa yang tertulis di kunci
jawaban itulah yang benar, tidak peduli kenyataan bilang apa, tidak
peduli akal dan nalar bilang apa.
11. Sekolah mempunyai standar tersendiri tentang apa yang dihargai
dan apa yang tidak, dan anak-anak harus menurut. Juara Olimpiade
Fisika, dihargai. Juara menulis, tidak terlalu.
Anak-anak jadi sibuk berpikir apa yang menyenangkan guru-guru, bukan
dahaganya sendiri akan ilmu pengetahuan. Singkatnya, sekolah hanya mau
menumbuhkan minat, kreativitas, daya pikir, dan potensi anak-anak yang sesuai dengan visi sekolah.
Berapa banyak anak-anak yang bakatnya dimandulkan oleh sekolah karena
sekolah tidak bisa menghargai bakat mereka? Mereka dipaksa belajar
hal-hal trivial, tidak bermakna dalam kehidupan keseharian mereka, hanya
demi nilai rapor dan penghargaan guru.
12. Kurikulum sekolah adalah tetap, tidak boleh diubah-ubah, tidak boleh disesuaikan dengan minat masing-masing anak.
Kurikulum yang saklek ini menjelaskan kenapa kebanyakan guru
marah-marah jika murid bertanya. Murid-murid tidak perlu bertanya
karena guru sudah tahu arah kurikulum. Pertanyaan dari murid tidak
disambut baik sebab mengganggu kelancaran jalannya pelajaran saja.
Sering kali kita mendengar cerita orang tua yang bangga karena
anaknya kritis dan banyak bertanya. Pasti anak jenius, kata orang
tuanya, tetapi setelah si anak dimasukkan sekolah, anak itu dianggap
bodoh oleh gurunya karena ya itu… dia banyak bertanya. Pantas saja
jenius macam Edison dan Einstein tidak bertahan di sekolah.
13. Sekolah bukan tanpa pengaruh buruk pada kejiwaan. Orang-orang
yang lulus dari sekolah, baik ranking atau pun tidak, memiliki perasaan
rendah diri, merasa bodoh tetapi berpura-pura pintar, merasa was-was
yang tidak dapat dijelaskan, depresi tanpa sebab, tidak yakin pada
kemampuan diri sendiri, rentan terhadap peer pressure (tekanan pergaulan rekanan sebaya), kecanduan pada belanja dan kepemilikan barang.
Pada masa-masa bertumbuh yang penting, anak-anak telah diekspos pada
rasa takut yang sedemikian besar di sekolah. Takut hukuman guru, takut
nilai jelek, takut kalau ranking jelek akan jadi orang tidak berguna,
takut, takut… Selama masa itu anak-anak tidak boleh banyak berbicara,
diajari bahwa yang penting adalah maunya sekolah, sedangkan yang penting
dan nyata bagi mereka adalah hal-hal bodoh yang tidak begitu penting.
Anak-anak dikungkung dalam tembok sekolah, hanya boleh bergaul dengan
orang-orang seumur yang sama-sama bego, sama-sama tidak tahu bagaimana
cara bersosialisasi yang baik, sama-sama tidak tahu dunia luar.
14. Sekolah memisahkan teori dari konteks, meramu ilmu secara sedemikian rupa sehingga menjadi amat sangat membosankan.
Sejarah menjadi hapalan kering tahun-tahun peperangan, matematika
menjadi operasi angka-angka tidak bermakna, fisika menjadi hapalan
rumus-rumus entah dari mana datangnya. Betapa banyak anak-anak yang jadi
alergi matematika, fisika, sejarah, geografi gara-gara sekolah.
15. Sekolah menekankan pada hapalan, bukan pengertian utuh. Anak-anak
yang mendapat nilai bagus di sekolah adalah anak-anak yang mahir
menelan bulat-bulat hapalan, lalu mengeluarkannya tanpa ditelaah lagi
saat ulangan. Tidak seperti disangka banyak orang, sekolah tidak berani
kok mengajarkan logika kepada murid-muridnya.
Sekolah bukan tempat menjadi pintar melainkan tempat menjadi penurut.
Kalau murid-murid sungguh-sungguh pintar, pasti susah diatur, banyak
protes, guru-guru kalah ilmu, dan jangan-jangan murid-murid minta homeschooling semua.
16. Ada guru-guru sekolah yang paling takut apabila murid-murid lebih
pintar dari mereka, dan mereka berupaya dengan segala cara untuk
menunjukkan bahwa murid-murid lebih bodoh, baik dengan pe-er yang luar
biasa sulit, mengeluarkan soal ujian yang tidak pernah diajarkan, maupun
standar nilai yang tidak jelas dan sulit mencapai nilai tinggi.
(Sebaliknya, orang tua yang menjalankan homeschooling bersyukur ketika anak-anak menjadi lebih pintar.)
17. Sering aku bertanya-tanya, kenapa dulu di sekolah “ini” tidak
diajarkan? Bagi aku, “ini” adalah teori kepemimpinan, pengelolaan uang,
manajemen waktu, cara negosiasi, dan cara berpikir kritis, yang kalau
aku pikir sekarang sebenarnya pengetahuan dasar.
Pertanyaan itu sendiri cukup mengguncangkan aku, jangan-jangan sekolah bukan tempat ideal menghabiskan masa kecil.
Betul kata John Holt (bapak gerakan homeschooling),
kebanyakan pelajaran yang diajarkan sekolah tidak dapat aku ingat, dan
dari sedikit yang aku ingat ternyata tidak banyak berguna.
Aku yakin hanya lingkungan alami, yakni keluarga, orang-orang
terdekat, dan kehidupan nyata yang bisa mengajarkan hal-hal penting
untuk masa depan anak, bukan lingkungan artifisial bernama sekolah
formal. Dari situ aku mulai berpikir, homeschooling, mengapa tidak?###
Tidak ada komentar:
Posting Komentar