Kamis, 02 Februari 2012

17 alasan mengapa aku tidak mau menyerahkan anak-anak kepada lembaga pendidikan bernama sekolah formal

Berikut 17 alasan mengapa aku tidak mau menyerahkan anak-anakku kepada lembaga pendidikan bernama sekolah formal:

1. Orang tua membayar guru untuk melakukan satu hal saja yaitu: menolong anak-anak belajar. Tetapi jika anak-anak tidak belajar, guru tidak mungkin mencoba cara-cara baru sampai ada satu cara yang berhasil membuat mereka semua paham. Guru akan terus melanjutkan pelajaran untuk mengejar target kurikulum dengan meninggalkan anak-anak  yang tetap tidak paham. Kegagalan sebenarnya ada pada sistem: satu orang dewasa mengajar banyak anak, tetapi kesalahan dilimpahkan pada anak-anak. Anak-anak ditempeli cap bodoh, pemalas, diberi ranking terendah, bahkan belakangan ada cerita tentang guru yang berani memberi label ADHD kepada anak-anak didiknya.
2. Kalau anak-anak menjadi pintar, sekolah yang berbangga diri dan dipuja-puja. Kalau anak-anak nilainya buruk, yang salah anak itu sendiri bahkan orang tuanya dinilai tidak becus membimbing anak belajar atau menjatuhkan tuduhan tentang kondisi keluarga yang tidak harmonis. Anak yang menyulitkan sekolah akan ditendang keluar. Sekolah tidak akan pernah mau bertanggung jawab atau pun mengakui bahwa telah gagal mendidik anak.
3. Anak-anak yang paling membutuhkan bimbingan malah dihukum dengan nilai buruk, disetrap, ranking rendah, dan dihancurkan kepercayaan dirinya. Tidak manusiawi.
4. Sekolah boleh-boleh saja menjalankan hukuman keras, kekerasan fisik, atau pun tekanan mental kepada anak-anak didiknya atas pelanggaran minor, dan anak-anak tidak diberi kesempatan diadili secara proporsional. Orang tua lebih sering tidak diberi tahu sekolah soal insiden yang melibatkan anaknya.
5. Guru boleh-boleh saja menurunkan nilai rata-rata ujian anak ataupun memberikan nilai di bawah lima kepada anak-anak yang dianggapnya tidak menurut atau sering membolos. Bahkan guru tidak malu-malu mengancam murid-muridnya soal hal ini meskipun tindakan itu merupakan pemalsuan data prestasi akademik, dan berarti guru-guru ini berdusta. Guru seperti ini terutama guru untuk mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia, dan Agama yang menentukan kenaikan kelas atau kelulusan.

6. Atmosfer sekolah bersifat destruktif terhadap orientasi dan nilai-nilai agama Islam.
Jika sekolah menentukan seragam olahraga adalah celana pendek, tidak ada yang bisa menentang. Jam pelajaran agama Islam, guru agama menyuruh memakai kerudung. Tetapi saat pelajaran olahraga, siswi-siswi pakai celana pendek dan pameran paha. Absurd.
Pacaran tidak ada dan dihindari dalam ajaran Islam, namun kebanyakan siswa-siswi sekolah sudah mengenal cinta-cintaan dengan lawan jenis sejak usia sangat dini.
Belum lagi peredaran obat terlarang, pornografi, dan rokok di sekolah.
Siswi-siswi wajib berenang kalau tidak mau nilai olahraganya dikurangi, tidak perduli meskipun mereka pakai jilbab.
Falsafah sekolah adalah: peraturan sekolah harus diutamakan, peraturan Tuhan bisa diatur sesuai sikon, kehidupan beragama dipisahkan dari kehidupan sekular. Mungkin ini sebabnya di negara yang beragama ini banyak pejabat yang ibadahnya rajin, tetapi korupsi jalan terus.
7. Kecepatan pelajaran di kelas sering kali tidak sesuai dengan kecepatan individu setiap anak. Anak-anak berbakat yang jauh lebih maju  dari teman-teman sekelasnya dipaksa mengerjakan tugas-tugas yang ditetapkan guru. Anak yang sudah bisa membaca harus tetap  mengeja huruf. Anak yang sudah lancar menulis harus tetap menulis satu kalimat yang sama 100 kali meskipun dia ingin mengarang cerita. Kalau si anak menolak, dia dianggap membangkang guru. Sangat jarang anak-anak seperti ini boleh lompat kelas. Akibatnya mereka jenuh, tugas sekolah menjadi siksaan sekaligus penghinaan terhadap harga diri mereka.
Sementara anak-anak yang lambat seringkali ditinggal begitu saja. Seorang guru dengan blak-blakan mengatakan,”Dengan jumlah murid  yang banyak, guru tidak pasang target semua murid harus bisa.” Horor.
8. Percobaan sains di laboratorium yang dilengkapi peralatan ekstensif hanyalah pengulangan rutin dari pengetahuan pakem yang sudah jamak diketahui. Hasil percobaan yang ’salah’ tidak dihargai. Anak-anak sekolah dengan jas lab yang keren itu tidak akan pernah diizinkan melakukan percobaan sains  yang benar-benar eksperimental. Sayangnya anak-anak itu sudah diperbodoh sedemikian rupa sehingga tidak terpikirkan atau tidak berani protes.
9. Para siswa sekolah swasta dengan perpustakaan super lengkap ternyata tidak mempunyai waktu untuk membaca buku-buku koleksi perpustakaan. Terlalu banyak tugas sekolah, terlalu banyak ujian, terlalu banyak buku teks yang harus dibaca, tidak sempat lagi untuk membaca buku-buku lain. Jadi buat apa perpustakaan dengan rak-rak buku menjulang itu? Cuma polesan pemanis agar orang tua murid bersedia membayar SPP lebih mahal.
10. Sekolah membuat anak-anak berpikir bahwa hanya ada satu cara melihat masalah, hanya ada satu jawaban terhadap pertanyaan,  tidak boleh mempertanyakan atau pun menggugat segala hal yang ditetapkan oleh otoritas atau pakar atau kunci jawaban. Apa yang  tertulis di kunci jawaban itulah yang benar, tidak peduli kenyataan bilang apa, tidak peduli akal dan nalar bilang apa.
11. Sekolah mempunyai standar tersendiri tentang apa yang dihargai dan apa yang tidak, dan anak-anak harus menurut. Juara Olimpiade  Fisika, dihargai. Juara menulis, tidak terlalu. Anak-anak jadi sibuk berpikir apa yang menyenangkan guru-guru, bukan  dahaganya sendiri akan ilmu pengetahuan. Singkatnya, sekolah hanya mau menumbuhkan minat, kreativitas, daya pikir, dan potensi anak-anak yang sesuai dengan visi sekolah. Berapa banyak anak-anak yang bakatnya dimandulkan oleh sekolah karena sekolah tidak bisa menghargai bakat mereka? Mereka dipaksa belajar hal-hal trivial, tidak bermakna dalam kehidupan keseharian mereka, hanya demi nilai rapor dan penghargaan guru.
12. Kurikulum sekolah adalah tetap, tidak boleh diubah-ubah, tidak boleh disesuaikan dengan minat masing-masing anak.
Kurikulum yang saklek ini menjelaskan kenapa kebanyakan guru marah-marah jika murid bertanya. Murid-murid tidak perlu  bertanya karena guru sudah tahu arah kurikulum. Pertanyaan dari murid tidak disambut baik sebab mengganggu kelancaran  jalannya pelajaran saja.
Sering kali kita mendengar cerita orang tua yang bangga karena anaknya kritis dan banyak bertanya. Pasti anak jenius, kata orang tuanya, tetapi setelah si anak dimasukkan sekolah, anak itu dianggap bodoh oleh gurunya karena ya itu… dia banyak bertanya. Pantas saja jenius macam Edison dan Einstein tidak bertahan di sekolah.
13. Sekolah bukan tanpa pengaruh buruk pada kejiwaan. Orang-orang yang lulus dari sekolah, baik ranking atau pun tidak, memiliki perasaan rendah diri, merasa bodoh tetapi berpura-pura pintar, merasa was-was yang tidak dapat dijelaskan, depresi tanpa sebab, tidak yakin pada kemampuan diri sendiri, rentan terhadap peer pressure (tekanan pergaulan rekanan sebaya), kecanduan pada belanja dan kepemilikan barang.
Pada masa-masa bertumbuh yang penting, anak-anak telah diekspos pada rasa takut yang sedemikian besar di sekolah. Takut hukuman guru, takut nilai jelek, takut kalau ranking jelek akan jadi orang tidak berguna, takut, takut… Selama masa itu anak-anak tidak boleh banyak berbicara, diajari bahwa yang penting adalah maunya sekolah, sedangkan yang penting dan nyata bagi mereka adalah hal-hal bodoh yang tidak begitu penting. Anak-anak dikungkung dalam tembok sekolah, hanya boleh bergaul dengan orang-orang seumur yang sama-sama bego, sama-sama tidak tahu bagaimana cara bersosialisasi yang baik, sama-sama tidak tahu dunia luar.
14. Sekolah memisahkan teori dari konteks, meramu ilmu secara sedemikian rupa sehingga menjadi amat sangat membosankan.
Sejarah menjadi hapalan kering tahun-tahun peperangan, matematika menjadi operasi angka-angka tidak bermakna, fisika menjadi hapalan rumus-rumus entah dari mana datangnya. Betapa banyak anak-anak yang jadi alergi matematika, fisika, sejarah, geografi gara-gara sekolah.
15. Sekolah menekankan pada hapalan, bukan pengertian utuh. Anak-anak yang mendapat nilai bagus di sekolah adalah anak-anak yang mahir menelan bulat-bulat hapalan, lalu mengeluarkannya tanpa ditelaah lagi saat ulangan. Tidak seperti disangka banyak orang, sekolah tidak berani kok mengajarkan logika kepada murid-muridnya.
Sekolah bukan tempat menjadi pintar melainkan tempat menjadi penurut. Kalau murid-murid sungguh-sungguh pintar, pasti susah diatur, banyak protes, guru-guru kalah ilmu, dan jangan-jangan murid-murid minta homeschooling semua.
16. Ada guru-guru sekolah yang paling takut apabila murid-murid lebih pintar dari mereka, dan mereka berupaya dengan segala cara untuk menunjukkan bahwa murid-murid lebih bodoh, baik dengan pe-er yang luar biasa sulit, mengeluarkan soal ujian yang tidak pernah diajarkan, maupun standar nilai yang tidak jelas dan sulit mencapai nilai tinggi. (Sebaliknya, orang tua yang menjalankan homeschooling bersyukur ketika anak-anak menjadi lebih pintar.)
17. Sering aku bertanya-tanya, kenapa dulu di sekolah “ini” tidak diajarkan? Bagi aku, “ini” adalah teori kepemimpinan, pengelolaan uang, manajemen waktu, cara negosiasi, dan cara berpikir kritis, yang kalau aku pikir sekarang sebenarnya pengetahuan dasar.
Pertanyaan itu sendiri cukup mengguncangkan aku, jangan-jangan sekolah bukan tempat ideal menghabiskan masa kecil.
Betul kata John Holt (bapak gerakan homeschooling), kebanyakan pelajaran yang diajarkan sekolah tidak dapat aku ingat, dan dari sedikit yang aku ingat ternyata tidak banyak berguna.
Aku yakin hanya lingkungan alami, yakni keluarga, orang-orang terdekat, dan kehidupan nyata yang bisa mengajarkan hal-hal penting untuk masa depan anak, bukan lingkungan artifisial bernama sekolah formal. Dari situ aku mulai berpikir, homeschooling, mengapa tidak?###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar